Hantu Wedon
Saya pernah mengalami kejadian yang menakutkan. Hal itu saya alami 30-an tahun yang lalu ketika saya bekerja di PNP 8 (sekarang PT Nusantara 6) Kayu Aro yang terletak di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Ketika itu perusahan mengadakan perombakan pelayuan teh dari sistem konvensional menjadi sedikit modern yakni dengan WT ( Withering Trough).
Saya ikut mengerjakan WT tersebut terkadang lembur hingga pukul 22 atau pukul 23 malam. Jarak rumah saya ke tempat saya bekerja sekitar 2 km perjalan sekitar setengah jam jalan kaki. Teman kerja saya yang berdekatan rumahnya Wagiman, jika sedang lembur sampai malam saya selalu pulang bersama-sama Wagiman. Suatu ketika Wagiman sedang demam saya bekerja hanya bersama Mandor.
Lantaran Wagiman tidak bekerja hari itu saya mohon kepada mandor untuk tidak lembur sampai malam, tetapi Mandor memaksa saya harus kerja lembur sampai jam 10 malam. “Untuk malam ini Pak, tolong saya izinkan untuk tidak lembur, rumah saya jauh dan tidak ada kawannya pulang, dan gelap pula” iba saya kepada pak Mandor. “Kalau alasan gelap, nanti saya pinjami senter, tapi besok pagi pulangkan” desak Mandor “Tapi Pak”.
“Tapi apa, takut?, takut apa laki-laki kok takut, udah pokoknya lembur sampai jam 10 nanti dibelikan nasi bungkus” kata mandor setengah memaksa. Akhirnya saya pun mengalah kerja lembur sampai jam 10 malam. Namun dalam bekerja saya tidak konsentrasi tentang pekerjaan, yang saya pikirkan cuma bagamana pulangnya nanti. Kalau biasanya jam berapapun saya pulang ada temannya, Wagiman, sedangkan malam ini sendiri.
Dari pabrik ke rumah saya memang bukan hanya satu jalan yang bisa ditempuh ada tiga jalan yang bisa dilewati. Tetapi ke-tiga tiga jalan itu horor semua. Jalan besar sebelah timur kalau mau pulang kerumah harus melewati Rumah Sakit Perusahaan. Dihalaman Rumah Sakit itu tepat dipinggir jalan ada kuburan belanda. Kata orang, ini kata orang siapa saja yang lewat situ malam-malam pasti dilempari pasir entah oleh siapa.
Jika kita lewat sebelah barat kita harus menempuh tepat ditengah-tengah pemakaman umum, wah ini lebih gawat lagi. Jalan yang biasa ditempuh lewat jalan tengah, kalau ada temannya no problem meski malam hari tapi ini kan sendiri, masalahnya jalan tengah ini harus melewati batu besar yang berada ditengah jalan. Belanda pun nggak berani mengganggu batu besar yang ada dijalan itu, sehingga Belanda ketika membuat jalan kebun terpaksa mengelaki batu tersebut.
Konon katanya, lagi-lagi kata orang batu itu ada penunggunya sehingga banyak orang sering melihat penampakan disekitar batu itu. Katanya wah ini katanya lagi kadang-kadang menyerupai anjing besar, kadang menyerupai harimau, kadang menyerupai perempuan cantik, pokoknya serem lah. Ditambah lagi didekat situ tumbuh pohon besar yang umurnya sudah ratusan tahun.
Orang menyebutnya pohon Kayu Aro, makanya kebun itu disebut PNP 8 Kayu Aro katanya lantaran ada pohon itu, entahlah saya tidak memikir tentang nama kebun itu, cuma sedang mikir bagaiman pulangnya nanti. “Heh, kok malah ngelamun hayo cepat selesaikan biar cepat pulang” pak Mandor mengagetkan saya yang sedang fokus mikir pulang. “Dah sekarang makan dulu, nanti jam 9 pulang” ujar Pak Mandor menghiburku.
“Jam 9 kan malam juga, ya gelap juga” jawab saya dalam batin (ketika itu belum ada PLN, jadi sepanjang jalan itu yang ada cuma gelap gulita dan lampu kunang-kunang) Jam 9 malam pekerjaan dihentikan disambung besok lagi. Namun sebelum pulang alat-alat kerja harus diberesi dulu, akhirnya jam 10 juga pulangnya. “Kok sudah suram Pak senternya” protes saya ketika Pak Mandor meminjami senter yang dijanjikan “Ah nggak apa-apa kan masih nampak jalan, yang penting nggak tersandung batu” jawab Pak Mandor acuh tah acuh.
Padahal saya mengharapkan Pak Mandor bilang begini “Sudah, karena senternya sudah habis baterainya dan haripun sudah malam, kamu nggak usah pulang tidur dirumah saya saja”, tapi ternyata ajakan itu tidak terucap sama sekali. Kalau saya minta untuk nginap dirumah Pak Mandor ya malu juga toh. Dalam perjalanan pulang hati saya sudah merasa nggak enak, senter jika dihidupkan satu menit saja cahayanya semakin redup mau mati, mungkin baterainya sudah soak, terpaksa hanya sebentar-sebentar menghidupkannya.
Pilihan jatuh pada jalan tengah yang melewati batu besar dan pohon kayu aro. Kira-kira kurang 100 meter tiba di batu tengah jalan itu tiba-tiba senter mati total, hingga saya pukul-pukulkan ketelapak tangan tetap ngadat nggak mau hidup. Dan apa yang di isukan orang orang itu terbukti, dari kejauhan ditengah kebun teh, memang bukan tepat diatas atau didekat batu ada sesosok putih sedang bergerak-gerak sepertinya semakin mendekat ke arah saya.
Kata orang itu namanya wedon, hantu wedon itu sejenis hantu yang paling mengerikan. Hantu wedon itu makin lama semakin tinggi dan jika meludahi kita bisa melepuh seperti kena air mendidih katanya. Tanpa pikir panjang saya balik kanan lagi, tujuannya langsung ke rumah Pak Mandor dan numpang nginap dirumah beliau, daripada mlonyoh (melepuh) kena ludah hantu wedon.
Namun belum jauh saya meninggalkan hantu wedon itu tiba-tiba ada cahaya api yang juga semakin mendekat kearah saya. Kata orang kalau api itu sejenis hantu kemangmang atau lampor ada juga yang menyebutnya banaspati. Akhirnya saya hanya pasrah apa yang akan terjadi sambil menggigil dan jantungnya berdegup tidak menentu. Ya Allah jika memang sudah takdir saya harus mati ditangan wedon atau kemamang saya rela, saya langsung jongkok sambil memejamkan mata sambil menunggu apa yang akan terjadi.
“Heee, ngopo Mun” saya terkejut bukan kepalang ada suara yang menegur saya. Ternyata Mbah Bawon yang baru pulang kerja dari pabrik sambil membawa obor karung goni yang dililitkan disebatang kayu dan dicelupkan kecairan oli kotor. Mbah Bawon rumahnya lebih jauh dari rumah saya. Jika pulang kerja dari pabrik dia pasti melewati rumah saya. Setiap pulang malam dia selalu membawa “kemangmang” obor karung.
“Anu mbah, kunci rumah saya jatuh tadi entah dimana jatuhnya saya cari-cari nggak ketemu” jawab saya setelah ditegur Mbah Bawon tadi, beralasan. “Ya sudah, cari sendiri kuncinya Mbah pulang dulu” kata Mbah Bawon sambil meninggalkan saya “Mbah, tunggu Mbah, senter saya mati, kuncinya dicari besok sajalah” sambil mengejar Mbah Bawon yang belum begitu jauh. Saya berjalan disamping Mbah Bawon sambil melirik wedon tadi, ternyata masih ada hantu wedon itu disana.
Makin lama semakin dekat, saya semakin merapat ke Mbah Bawon, tetapi hantu wedon itu tidak semakin tinggi seperti yang sering diisukan orang-orang. Akhirnya saya selamat tiba dirumah tanpa diludahi wedon dan dikunyah kemangmang. Saya penasaran, dengan tekad bulat saya beranikan diri mendatangi sendiri tempat si wedon itu berada besok paginya sambil berangkat kerja.
Ditempat bekas wedon berdiri ada butiran-butiran putih seperti gula pasir berserakan dibawah pokok-pokok teh dan ada beberapa karung plastik koyak, ada yang dibawah pokok teh dan ada pula yang diletakkan diatas rumpun daun teh.